Narasumber : Gatot M Sutedjo Rabu 8 September 2011
Sebagai alat tukar yang sah, uang memiliki sejarah panjang. Pada mulanya, manusia memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dengan berusaha sendiri. Mereka berburu, mengkonsumsi tanaman dan buah, membuat penutup badan dari kulit binatang dan kulit pohon untuk melawan cuaca.
Sejalan dengan perkembangan peradaban, mereka berinteraksi dengan manusia lain. Hal inilah yang disebut manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tidak lagi dapat memproduksi seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak bisa diproduksi sendiri, mereka harus mendapatkan pada manusia lain. Mereka menukarkan barang-barang yang ada padanya kepada orang lain yang mempunyai barang-barang yang dibutuhkannya. Sistem ini disebut barter.
Sistem ini kemudian dianggap tidak efektif karena memunculkan kesulitan-kesulitan. Sistem barter tidak mempunyai standar yang seimbang atau yang sama nilainya. Untuk mengatasinya, maka digunakan benda-benda tertentu sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generally accepted). Benda-benda itu adalah benda yang bernilai tinggi, sukar memperolehnya, memiliki nilai magis dan mistis, atau barang-barang primer yang dibutuhkan sehari-hari. Sebagai contoh, garam pada zaman Romawi bernilai tinggi. Garam berfungsi sebagai alat tukar maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruhnya saat ini, orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.
Alat tukar itu harus mempunyai nilai. Untuk itu harus pula dipikirkan tentang bagaimana menentukan nilai alat tukar (value), penyimpanan (storage), dan pengangkutan (transportation). Jika alat tukar itu masih berbentuk barang, tentu menimbulkan kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda tersebut sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama. Lalu muncul apa yang dinamakan dengan uang logam. Logam dipilih sebagai alat tukar karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan tidak mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah dipindah-pindahkan. Logam dipakai adalah emas dan perak. Uang logam emas dan perak juga disebut sebagai uang penuh (full bodied money). Artinya, nilai intrinsik (nilai bahan) uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut).
Sejalan dengan perkembangan perekonomian, muncul uang kertas. Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai alat/perantara untuk melakukan transaksi. Pada perkembangan selanjutnya masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan ‘kertas-bukti’ tersebut sebagai alat tukar.
Pada zaman modern, uang tidak sekedar menjadi alat tukar. Uang memiliki beberapa fungsi diantaranya, Fungsi asli, yaitu sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai. Sebagai alat tukar (medium of exchange) orang tidak perlu menukarkan dengan barang, tetapi cukup menggunakan uang sebagai alat tukar. Kesulitan-kesulitan pertukaran dengan cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang. Sebagai satuan hitung (unit of account), uang dapat digunakan untuk menunjukan nilai berbagai macam barang/jasa yang diperjualbelikan. Dengan demikian, uang berperan untuk memperlancar pertukaran. Sebagai alat penyimpan nilai (valuta), uang dapat digunakan untuk mengalihkan daya beli dari masa sekarang ke masa mendatang. Ketika seorang penjual saat ini menerima sejumlah uang sebagai pembayaran atas barang dan jasa yang dijualnya, maka ia dapat menyimpan uang tersebut untuk digunakan membeli barang dan jasa di masa mendatang.
Selain itu, uang juga mempunyai fungsi turunan, diantaranya sebagai alat pembayaran, sebagai alat pembayaran utang, sebagai alat penimbun atau pemindah kekayaan (modal), dan alat untuk meningkatkan status sosial.
Sisi lain uang adalah menunjukkan identitas suatu bangsa. Hal ini ditunjukkan dengan motif-motif desain yang tergambar pada lembaran-lembaran mata uang suatu negara. Sebagai bangsa Indonesia, hendaknya kita bangga dengan mata uang Rupiah. Pada lembaran-lembaran mata uang Rupiah tergambar semangat kepahlawanan bangsa, keanekaragaman budaya suku-suku bangsa di Indonesia dan keanekaragaman hayati negeri Indonesia yang luar biasa. Aku cinta Rupiah. Aku cinta Indonesia.
Gatot M. Sutejo
Graphic Designer WARTA PERENCANA
Media Komunitas Perencana
Kementerian Tenaga Kerja & Transmigrasi RI
Tulisan ini dimuat di Majalah WARTA PERENCANA Edisi APRIL-JUNI 2011
0 komentar:
Posting Komentar